MEMAHAMI KAROMAH PARA WALI |
Ulama Ahlu Sunnah Wal Jamaah sepakat bahwa karomah para wali itu mungkin di lihat dari sudut pandang akal dan secara nyata terjadi sepanjang masa. Hanya kaum sesat Muktazilah yang mengingkari adanya karomah. Karomah sendiri adalah suatu khariqul adat (hal luar biasa) yang muncul dari seorang wali yakni hamba yang nampak shaleh, menetapi ketaatan, menjauhi maksiat dan memiliki akidah yang lurus.
Makna wali
Menurut para ulama, wali adalah seorang hamba yang mengenal Allah SWT dan sifat-sifat-Nya sampai pada batas yang memungkinkan. Menetapi ketaatan, menjauhi maksiat, dan tidak terbuai dalam kesenangan syahwat yang diperbolehkan. Ada dua kemungkinan asal kata wali. Yang pertama adalah subyek dari kata tawallat thaatuhu (terus menerus taatnya). Maksudnya adalah seorang yang selalu berbuat taat tanpa diselai perbuaan maksiat. Yang kedua ia adalah objek yang berasal dari kata Tawallallahu hifdzahu (Allah mengurus penjagaannya). Maksudnya Allah SWT selalu menjaganya dalam taufiq (kemampuan berbuat taat) dan melindunginya dari khizlan (kemampuan bermaksiat). Allah SWT berfirman:
وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِينَ
Dia melindungi orang-orang yang saleh. (QS al A`raf: 196)
Pengertian hamba yang shaleh adalah yang melaksanakan semua kewajiban kepada Allah SWT dan kepada makhluk. Hamba yang shaleh mencakup para nabi dan wali.
Apabila khariqul adat muncul dari hamba yang bersifat demikian maka itulah yang dinamakan karomah. Berbeda dengan sihir dan istidraj, keduanya tidak muncul kecuali dari seorang fasik yang hatinya penuh dengan keburukan.
Dalil karomah
Dalil adanya karomah para wali telah sampai pada batas mutawatir, sangat melimpah baik dalam al Quran, al Hadits maupun atsar (peninggalan) kaum shalihin. Al Quran banyak menceritakan kisah tentang karomah para wali seperti kisah Sayidatuna Maryam as yang diberikan makanan langsung dari sisi Allah SWT, penasihat Nabi Sulaiman as yang mampu memindahkan singasana ratu Bilqis dalam sekejap, Ashabul Kahfi (penghuni gua) yang tetap hidup setelah ditidurkan selama 309 tahun, Dzul Qornain yang mampu menundukan banyak negri dan mengurung Yajuz dan Majuz dengan izin Allah, serta kisah-kisah lainnya.
Dalam hadits-hadits shahih, kisah karomah para wali lebih banyak lagi. Di antaranya adalah kisah Sahabat Imran bin Hushain ra yang dapat mendengar salam malaikat; Sahabat Salman ra dan Abu Darda ra yang dapat mendengar tasbih dari piring tempat mereka makan; Sahabat Abbad bin Bisyr ra dan Usaid bin Hudhair ra yang bercahaya ujung tongkatnya menerangi jalan ketika mereka keluar dari sisi Nabi SAW di malam yang gelap. Saat berpisah, cahaya itu ikut berpencar bersama masing-masing dari keduanya; Sahabat Khubaib ra yang diberikan rizki dari sisi Allah SWT berupa buah anggur ketika ia ditawan kaum kafir Quraish, padahal ketika itu bukan musim anggur; Juraij ra yang ketika dituduh berzina bertanya kepada bayi yang masing menyusui, “Siapa Ayahmu?” Bayi itu pun mengatakan siapa ayah sebenarnya. Ada pula kisah Safinah ra bekas budak Rasulullah SAW yang memberitahukan singa bahwa ia adalah utusan Rasulullah SAW kemudian singa itu mengiringi dan mengantarkannya sampai tujuan. Juga kisah yang disebutkan mengenai tiga orang yang berteduh pada gua kemudian gua itu tertutup batu besar. Setiap orang dari mereka berdoa dengan satu doa sehingga gua itu pun terbuka.
Hadits-hadits lain, atsar dan perkataan ulama salaf dan khalaf mengenai karomah sangatlah melimpah. Cukup kiranya yang sedikit ini sebagai bukti kuat adanya karomah.
Macam karomah
Sebagian ulama membagi karomah menjadi dua, karomah hissiyah (nampak) dan maknawiyah (tidak nampak). Karomah hissiyah bisa berupa kemampuan berjalan di atas air, terbang di udara, thoyul ardh (menyingkat jarak yang jauh hanya dalam sekejap), terkabulnya doa, munculnya makanan atau minuman ketika terdesak, mendengar suara tanpa wujud (hatif), dan kejadian-kejadian nampak lainnya. Tidak semua wali mendapatkan karomah hissiyah. Terkadang seorang wali tidak memiliki karomah hissiyah sepanjang hidupnya. Karomah hissiyah memang merupakan satu anugrah namun ketiadaan karomah hissiyah pada seorang wali bukanlah suatu cacat akan kewaliannya.
Pernah dikatakan kepada Abu Yazid al Busthami, “Fulan dalam satu malam dapat berpindah ke Mekah.” Beliau menjawab, “Setan pun bisa berpindah dari ufuk timur ke ufuk barat dalam sekejap tapi ia tetap dilaknat Allah.” Pernah pula dikatakan kepada beliau, “Fulan dapat berjalan di atas air dan terbang di udara.” Beliau pun menjawab, “Burung pun dapat terbang di udara dan ikan dapat berenang di atas air.”
Tidak semua wali yang dikhususkan dengan karomah hissiyah telah sempurna hatinya dalam keikhlasan dan keburukan nafsu yang mengajak kepada syahwat. Banyak sekali nampak karomah hissiyah pada wali yang pemula dan justru tidak nampak pada wali yang telah sampai derajat tinggi. Bahkan terkadang karomah hissiyah diberikan kepada orang yang belum sempurna istiqomahnya.
Karomah yang hakiki dalam pandangan para wali adalah karomah maknawiyah. Setiap wali mendapatkan bagian yang berbeda darinya, ada yang mendapatkan sedikit dan ada pula yang mendapatkan bagian yang banyak. Bentuk karomah ini dapat berupa kesempurnaan makrifat (mengenal) Allah dan sifat-sifat-Nya, rasa takut mendalam kepada Allah, selalu merasa diawasi, segera melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, kokoh dalam keyakinan, dan rahasia-rahasia khusus yang dianugrahkan Allah SWT kepada seorang wali. Karomah inilah yang dianggap agung di mata para wali. Sebagian ulama bahkan mengatakan bahwa karomah teragung yang dimiliki seorang wali adalah keistiqomahan untuk selalu berbuat taat dan penjagaan dari dosa dan menyelisihi kebaikan(perbuatan makruh dan kesenangan syahwat yang boleh). Imam Sahl bin Abdullah at Tusturi pernah mengatakan, “Karomah terbesar adalah ketika engkau dapat mengganti akhlak-akhlak tercela dari dirimu.” Senada dengan itu Ibnu Athoillah mengatakan, “Thoy (menyingkat jarak) itu ada dua, ada yang kecil dan ada yang besar. Yang kecil adalah yang umum dialami golongan ini (wali) yaitu menyingkat jarak dari barat ke timur dalam satu nafas. Sedangkan yang besar adalah melipat sifat-sifat nafsu (yang tercela).”
Karomah maknawiyah jauh lebih agung daripada karomah hissiyah meskipun dua-duanya termasuk hal yang utama. Mereka yang hanya mencari-cari karomah hissiyah bukanlah wali yang sejati. Syaikh Abu Hasan Asy Syazili pernah berkata, “Hanya ada dua karomah yang menyeluruh dan universal. Karomah Iman dengan bertambahnya keyakinan dan penyaksian yang nyata dan karomah amal dengan meneladani dan taat, menghindari mengaku-ngaku (mencapai maqom tertentu) serta penipuan. Siapa yang diberi keduanya kemudian ia menginginkan hal lain (karomah hissiyah) maka ia adalah hamba yang payah, penipu dan salah ilmu dan amalnya. Perumpamaannya bagai seorang yang diberi kemuliaan menyaksikan raja dan mendapatkan restu darinya namun ia justru berharap untuk mendapatkan jabatan sebagai pengurus binatang dan mengabaikan restu itu. Setiap karomah yang tidak dibarengi dengan sifat ridho atas ketentuan Allah maka pemiliknya adalah pelaku istidraj, tertipu, kurang atau binasa.”
Perbedaan karomah dan mukjizat
Perbedaan pokok antara mukjizat dan karomah adalah bahwa mukjizat terjadi sebagai pembuktian kebenaran kenabian. Seorang wali tidak mengaku sebagai nabi maka hal luar biasa yang nampak pada dirinya tidak dikatakan mukjizat melainkan karomah. Hampir semua syarat mukjizat ditemukan dalam karomah kecuali syarat yang satu ini yaitu pengakuan kenabian. Selain itu, Mukjizat dilakukan dengan ikhtiyar (sengaja) untuk membuktikan kenabian sedangkan karomah ada yang dilakukan dengan sengaja melalui usaha dan doa, dan ada pula yang dilakukan tanpa unsur kesengajaan. Para nabi diperintahkan untuk menampakkan mukjizat sedangkan wali pada umumnya diperintahkan menyembunyikan karomah. Sebagian kecil dari wali memang ada yang diperintahkan untuk menampakkan karomah karena kehendak Allah SWT.
Para ulama mengatakan bahwa pada hakikatnya semua karomah wali adalah termasuk bagian dari mukjizat nabi yang menjadi panutannya. Jika bukan karena benarnya seorang nabi maka tidak akan nampak karomah pada pengikutnya. Nampaknya karomah adalah bukti kebenaran nabi. Dan bukti kebenaran nabi itu adalah mukjizat.
Karomah merupakan anugrah yang menunjukkan kekhusussan dan keutamaan seorang hamba untuk meningkatkan keyakinannya sekaligus bukti benarnya akidah-akidah yang mereka yakini. Semua yang bisa menjadi mukjizat nabi bisa menjadi karomah wali kecuali hal yang dikhususkan untuk para nabi saja. Ada beberapa hal yang dapat dipastikan tidak mungkin menjadi karomah bagi para wali. Di antaranya adalah terhasilkannya anak tanpa orang tua, merubah benda mati menjadi hewan dan yang semisalnya.
Semua ulama sepakat bahwa kedudukan wali tidak bisa mencapai kedudukan para nabi. Seorang wali tidak maksum dalam artian terlindung dari pada dosa-dosa sebagaimana para nabi. Namun mereka mahfudz (dijaga) dalam artian apabila mereka berbuat kesalahan atau dosa ia segera bertaubat dan tidak terlena (terus menerus) dalam kesalahannya.
Apakah wali mengetahui dirinya wali?
Menurut pendapat yang unggul bahwa sebagian wali sadar bahwa dirinya adalah wali dan sebagian lain tidak menyadarinya. Pengetahuan mengenai status kewalian diri sendiri adalah termasuk karomah yang tidak dimiliki semua wali.
Sebagian wali bahkan tidak memiliki karomah yang nampak (hissiyah) di dunia. Berbeda dengan para nabi, mereka wajib memiliki mukjizat karena nabi diutus kepada manusia dan bukti kenabiannya tidak dapat diketahui kecuali dengan mukjizat. Sedangkan kewalian seseorang tidak wajib diketahui manusia, bahkan terkadang seorang wali sendiri tidak sadar bahwa dirinya adalah wali.
Kebanyakan wali tersembunyi di antara manusia. Dikatakan oleh al Habib Ahmad bin Zein al Habsyi, “Tersembunyinya wali di antara manusia dan ketidak-tahuan mereka atas kedudukannya sebagai wali adalah bentuk rahmat bagi manusia. Jika mereka mengetahui kedudukannya kemudian mereka tetap berbuat buruk dan menyakitinya padahal mereka tahu ia wali, maka mereka akan binasa dan hancur. Ketika hal itu dilakukan bersamaan dengan ketidak-tahuan maka akibatnya akan lebih ringan.”
Perilaku seorang wali
Mengenai prilaku para wali, Ibnu Athoillah mengatakan bahwa seorang wali selalu menjadi yang terdepan dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Mereka memiliki rasa kasih sayang dan kepedulian yang tinggi kepada orang lain, sabar menghadapi perlakuan manusia dan selalu menghadapi mereka dengan akhlak yang baik. Mereka senantiasa memohon kepada Allah SWT untuk melimpahkan kebaikan kepada orang lain tanpa diminta. Mereka sangat ingin menyelamatkan orang lain dan membuat mereka aman dari adzab Allah. Tidak pernah tergiur untuk mendapatkan harta orang lain dan tidak pula mengharapkan imbalan dalam bentuk apa pun. Mereka menjaga lisan dari kata-kata yang menyakiti dan berusaha untuk tidak mencari-cari keburukan perbuatan orang lain. Mereka tidak ingin bertikai dengan manusia baik di dunia mau pun di akhirat, segera memaafkan orang lain yang berbuat salah kepadanya di dunia agar tidak ada tuntutan kelak di akhirat. Mereka, sebagaimana firman Allah SWT:
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, Sesungguhnya (perbuatan ) yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diutamakan. (QS Asy Syuura: 43)
Dan juga ayat:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS Ali Imran: 134)
Semoga Allah SWT memuliakan kita dengan cinta dan pengetahuan dan menjaga kita dari istidraj dan pencabutan karunia setelah diberikan. Aamiin.
WALLAHU A'LAM
0 Response to "MEMAHAMI KAROMAH PARA WALI"
Posting Komentar